AL- JARKHU WA TA’DIL
I.
PENDAHULUAN
Ilmu al- Jarh wa
al- Ta’dil adalah “timbangan”bagi para perawi
hadits. Rawi yang “berat” timbangannya diterima riwayatnya, sedangkan rawi yang
“ringan” timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui
periwayat yang dapat diterima dan kita dapat membedakan dengan periwayat yang
tidak dapat diterima haditsnya.
Oleh karena itulah para ulama hadits memperhatikan
ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikiranya untuk
menguasainya. Mereka pun ber-ijma’
akan validitasnya, bahkan kewajibanya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu
ini.
Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak
mencurahkan segala perhatianya dalam masalah ini dengan mene iti keadilan para
rawi, menguji hafalan dan ingatanya, hingga untul itu mereka tempuh rihlah yng panjang, menanggung kesulitan
yang besar, mengingatkan masyarakat untuk berhati- hati terhadap para rawi yang
pendusta, yang lemah, kacau hafalanya. Seandainya bukan usaha mereka niscaya
akan menjadi kacau balaulah urusan Islam, dan orang- orang zindiq akan berkuasa dan para dajjal
akan bermunculan.[1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apakah definisi Jarkhu wa Ta’dil ?
B.
Sebutkan macam- macam Jarhi wa Ta’dil?
C.
Apa syarat- syarat bagi orang yang men
Ta’dilkan dan men Tarjihkan ?
D.
Lafald- lafald apa sajakah yang terdapat
dalam Ilmu Jarkhu wa Ta’dil?
E.
Apa sajakah syarat sebagai al- Jarh wa
al Ta’dil agar dapat diterima?
F.
Bagaimana pertentangan antara al- Jarh wa al Ta’dil ?
III.
PEMBAHASAN
A. Definisi
Jarkhu wa Ta’dil
Kalimat al- jarkhu wa ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang
terdiri dari dua kata yaitu, al- jarkhu dan
al-adl. Secara bahasa merupakan
bentuk masdar, dari kata jarokha- yajrokhu, yang berarti
seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang di tandai dengan mengalirnya
darah dari luka itu. Secara terminology, al
jarkh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat
adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatanya, yang mengakibatkan
gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya bahkan tertolak riwayatnya.[2]
Sedangkan
kata at-ta’dil, asal katanya
adalah masdar dari kata kerja ‘addala-yu’addilu-ta’dilan, artinya
mengemukakan sifat-sifat adil yang dimilki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu
hadits, kata at-ta’dil mempunyai arti mengungkapkan sifat-sifat bersih
yang ada pada periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi
periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima. Sedangkan
menurut istilah yaitu “mensifatkan si perawi dengan sifat- sifat yang dipandang
orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerima’an riwayatnya”.[3]
B. Macam- macam Jarhi wa Ta’dil
Dalam kaidah- kaidah
Jarah dan Ta’dil itu di bagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut :
1.
Bersandar kepada cara- cara
periwayatanya hadits, syah periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan
kepada mereka.
2.
Berpautan dengan hadits itu sendiri,
apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan- jalan keshahihanya dan
ketiadaan keshahihanya.
Tiadalah diterima suatu pencatatan,
melainkan dengan adanya sesuatu yang benar- benar cacat. Menurut Ibnu Hajar
dalam muqaddimahnya Fathul Bari berkata, “Tiadalah diterima pencacatan terhadap
seseorang terkecuali terdapat sesuatu yang terang mencacatkan, karena sebab-
sebab mencacatkan seseorang, berbeda- beda. Dan semuanya berkisar disekitar
lima hal, yaitu: did’ah, menyalahi orang
lain, kesilapan, tidak di ketahui keadaan di perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya
munqathi’, (bahwa perawi itu mentad-lis atau mengirsal).
C. Syarat-
syarat bagi orang yang men Ta’dilkan dan men Tarjihkan
Kita tidak boleh
menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainya, melainkan
harus jelas dulu sebab- sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang
menganggap orang lain cacat, malah ia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita
tidak boleh menerima langsung suatu perkataan sebelumada yang menyetujuinya.
Beranjak dari sikap
selektif sesuatu, ada beberapa syarat bagi orang yang men- ta’dil-kan (mu’adil) dan orang yang men-jarah-kan (jarih), yaitu:
1. Berilmu
pengetahuan
2. Taqwa
3. Wara’ (orang
yang selalu menjaga diri dan menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa- dosa kecil, dan makruhat-
makruhat)
4. Jujur
5. Menjauhi
sikap fanatik golongan
6. Mengetahui
sebab- sebab untuk men-ta’dil-kan dan
men-tajrih-kan[4]
D. Lafald-
lafald yang terdapat dalam Ilmu Jarkhu wa Ta’dil
Lafazh- lafazh yang
digunakan untuk men-tajrih dan man-ta’dil itu bertingkat. Menurut Ibnu
Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An- Nawawy, lafazh- lafazh itu dibagi menjadi 4
tingkatan. Menurut Al- Hafizd Ad- Dzahaby dan Al- ‘Iraq menjadi 5 tingkatan, sedangkan
Ibnu Hajar menyusun menjadi 6 tingkatan,yaitu sebagai berikut:
Tingkatan
pertama, segala sesuatu yang
mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh- lafazh
yang af ‘alu al- ta’dil atau ungkapan
lain yang mengandung pengertian sejenis. (Orang
yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalanya).
Tingkatan
kedua, memperkuat ke-tsiqah-an
rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-ldobit- annya, baik sifatnya ynag
dihubungan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna. (Orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendirinya).
Tingkatan
ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh ynag
mengandung arti “kuat ingatan”. (Orang
yang teguh “orang yang hati- hati lidahnya” )
Tingkatan
keempat, menunjukkan keadilan dan ke-dlabit-an, tetapi dengan lafazh yang tidak mengandung arti “kuat
ingatan dan adil (tsiqah)”. (Orang yang sangat jujur)
Tingkatan
kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui
adanya ke-dlabit-an. (Orang yang
berstatus jujur)
Tingkatan
keenam, menunjukkan arti “mendekati cacat”. Seperti sifat-
sifat tersebut diatas yang diikuti dengan lafazh tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau
lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. (Orang yang jujur, insya Allah)
E. Syarat
al- Jarh wa al Ta’dil agar dapat diterima
Syarat
pertama, al- jarh- wa al- ta’dil di ucapakan yang telah
memenuhi segala syarat sebagai ulama al-
jarh wa ta’dil. Al- Laknawi menjelaskan dalam kitab al- Raf’u wa al- Takmiil, “ Wajib bagimu untuk tidak tergesa- gesa
menghukumi jarh terhadap seorang rawi
semata- mata ada penilaian sebagian ahli
al- jarh wa al- ta’dil, melainkan engkau harus meneliti kebenaranya karena
masalah ini sangat pentingdan banyak kendalanya”.
Syarat
kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan
sebab- sebabnya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. Ibnu al- Shalah
berkata,
“ Menurut pedapat yang benar dan masyhur, ta’dil dapat diterima tanpa menjelaskan
sebab- sebabnya. Ini karena sebab- sebabnya sangat banyak, dan untuk
menyebutkanya seorang pen-ta’dil harus
berkata seperti rawi.(fulan itu tidak
melakukan hal ini, tidak melanggar peraturan ini, bahkan bahkan melakuakan itu
dan hal itu, sehingga ia terpaksa membilang semua hal yang menyebabkan kefasikan
bila dikerjakan atau di tinggalkan. Hal ini adalah suatu hal yang amat berat).
Syarat
ketiga, dapat diterima jarh
yang sederhana tanpa dijelaskan sebab- sebabnya bagi periwayat yang sama
sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya.
Demikian pendapat yang dipilih oleh al- Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarh al- Nukhba ia berkata, “ Apabila periwayat yang di jarh itu sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya, maka baginya berlaku jarh yang sederhana tanpa dijelaskan
sebab- sebabnya bila hal itu diucapakan oleh orang yang bijak. Demikian menurut
pendapat yang terpilih. Pendapat ini beralasan bahwa periwayat yang sama sekali
tidak ada yang men-ta’dil-nya seakan-
akan adalah periwayat yang majhul.
Syarat
keempat, jarh harus terlepas dari berbagai hal yang
menghalangi kediterimaanya. Maka bila ada hal- hal yang menghalanginya, jarh tidak dapat diterima.
F. Pertentangan antara al- Jarh wa al Ta’dil
Bila terjadi
pertentangan antara jarh dan ta’dil terhadap
rawi, maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama.
Pendapat ynag shahih
adalah yang dikutip oleh al- Khathib al- Baghdadi dari jumhur ulama dan
dishahihkan oleh Ibnu al- Shalah dan muhaddits yang lain serta sebagian ulama ushul. Mereka berkata bahwa jarh di
dahulukan atas ta’dil meskipun yang menta’dil hanya memberitahukan
karakteristik yang tidak tampak dan samar bagi orang yang menta’dil.
Akan tetapi, kaidah ini
tidak menunjukkan kemutlakan harus dudahulukanya jarh. Dapatlah kita katakan bahwa kaidah ini terbatas dengan
syarat- syarat sebagai berikut:
1. Jarh
harus dijelaskan dan harus memenuhi syarat-syaratnya sebagaimana telah
dijelaskan di depan.
2. Orang
yang menjarh tidak sentimen atas orang yang dijarh atau terlalu mempersulit
dalam menjarh. Oleh karena itu, tidak dapat diterima jarh al-Nasa’i kepada
Ahmad bin Shalih al-Mishri, karena kedunya saling membenci.
3. Penta’dil
tidak menjelskan bahwa jarh yang ada tidak dapat diterima bagi rawi yang
bersangkutan.
Hal
ini menunjukkan bahwa perbedaan sudut pandang para kritikus mengakibatkan perbedaan
mereka dalam al- jarh wa al ta’dil. Oleh
karena al- Dzahabi , salah seorang ahli peneliti tentang kritik rijal berkata: “ Tidak pernah terjadi
kesepakatan dua orang ulama hadits untuk men-tsiqat-kan
seorang rawi yang dha’if atau
sebaliknya”.
IV.
KESIMPULAN
Ilmu al- Jarh wa
al- Ta’dil adalah “timbangan”bagi para perawi
hadits. Rawi yang “berat” timbangannya diterima riwayatnya, sedangkan rawi yang
“ringan” timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui
periwayat yang dapat diterima dan kita dapat membedakan dengan periwayat yang
tidak dapat diterima haditsnya.
Dalam kaidah- kaidah Jarah dan Ta’dil itu di bagi
menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut :
1.
Bersandar kepada cara- cara
periwayatanya hadits, syah periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan
kepada mereka.
2.
Berpautan dengan hadits itu sendiri,
apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan- jalan keshahihanya dan
ketiadaan keshahihanya.
Ada pula beberapa syarat bagi orang yang men- ta’dil-kan (mu’adil) dan orang yang men-jarah-kan (jarih), yaitu:
1. Berilmu
pengetahuan
2. Taqwa
3. Wara’ (orang
yang selalu menjaga diri dan menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa- dosa kecil, dan makruhat-
makruhat)
4. Jujur
5. Menjauhi
sikap fanatik golongan
6. Mengetahui
sebab- sebab untuk men-ta’dil-kan dan
men-tajrih-kan
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang telah saya susun. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
ini sangat jauh dan kurang dari kesempurnaanya, untuk itu kritik dan saran yang
membangun guna perbaikan makalah selanjutnya. Dan semoga apa yang telah saya
sampaikan kali ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aaamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi.M Ash Shiddieqy.2001. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra
‘Itr Nurudin.1994. Ulumul Hadits 1. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Sholahudin
Agus dan Suyadi Agus.2008. Ulumul Hadits.
Bandung: Pustaka Setia
[1]
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits 1,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994)
hal: 78- 79
[2]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal:157
[3]
Teungku M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah&pengantar
Ilmu Hadits (Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra,2001) hal: 326
[4]
Ibid, Agus Solahudin dan Agus Suyadi.hal:162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar