Kamis, 04 Juli 2013

ULUMUL HADITS (ilmu jarhk wa ta'dil) / 2



AL- JARKHU WA TA’DIL

       I.            PENDAHULUAN
Ilmu al- Jarh wa al- Ta’dil adalah “timbangan”bagi para perawi hadits. Rawi yang “berat” timbangannya diterima riwayatnya, sedangkan rawi yang “ringan” timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima dan kita dapat membedakan dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.
Oleh karena itulah para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikiranya untuk menguasainya. Mereka pun ber-ijma’ akan validitasnya, bahkan kewajibanya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.
Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak mencurahkan segala perhatianya dalam masalah ini dengan mene iti keadilan para rawi, menguji hafalan dan ingatanya, hingga untul itu mereka tempuh rihlah yng panjang, menanggung kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk berhati- hati terhadap para rawi yang pendusta, yang lemah, kacau hafalanya. Seandainya bukan usaha mereka niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan Islam, dan orang- orang zindiq akan berkuasa dan para dajjal akan bermunculan.[1]

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah definisi Jarkhu wa Ta’dil ?
B.    Sebutkan macam- macam Jarhi wa Ta’dil?
C.    Apa syarat- syarat bagi orang yang men Ta’dilkan dan men Tarjihkan ?
D.    Lafald- lafald apa sajakah yang terdapat dalam Ilmu Jarkhu wa Ta’dil?
E.     Apa sajakah syarat sebagai al- Jarh wa al Ta’dil agar dapat diterima?
F.     Bagaimana pertentangan  antara al- Jarh wa al Ta’dil ?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Definisi Jarkhu wa Ta’dil
Kalimat al- jarkhu wa ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata yaitu, al- jarkhu dan al-adl. Secara bahasa merupakan bentuk masdar, dari kata jarokha- yajrokhu, yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang di tandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Secara terminology, al jarkh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatanya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya bahkan tertolak riwayatnya.[2]
Sedangkan kata at-ta’dil, asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala-yu’addilu-ta’dilan, artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimilki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata at-ta’dil mempunyai arti mengungkapkan sifat-sifat bersih yang ada pada periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima. Sedangkan menurut istilah yaitu “mensifatkan si perawi dengan sifat- sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerima’an riwayatnya”.[3]

B.      Macam- macam Jarhi wa Ta’dil
Dalam kaidah- kaidah Jarah dan Ta’dil itu di bagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Bersandar kepada cara- cara periwayatanya hadits, syah periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada mereka.
2.      Berpautan dengan hadits itu sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan- jalan keshahihanya dan ketiadaan keshahihanya.
Tiadalah diterima suatu pencatatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar- benar cacat. Menurut Ibnu Hajar dalam muqaddimahnya Fathul Bari berkata, “Tiadalah diterima pencacatan terhadap seseorang terkecuali terdapat sesuatu yang terang mencacatkan, karena sebab- sebab mencacatkan seseorang, berbeda- beda. Dan semuanya berkisar disekitar lima hal, yaitu: did’ah, menyalahi orang lain, kesilapan, tidak di ketahui keadaan di perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya munqathi’, (bahwa perawi itu mentad-lis atau mengirsal).
C.     Syarat- syarat bagi orang yang men Ta’dilkan dan men Tarjihkan
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainya, melainkan harus jelas dulu sebab- sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang menganggap orang lain cacat, malah ia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menerima langsung suatu perkataan sebelumada yang menyetujuinya.
Beranjak dari sikap selektif sesuatu, ada beberapa syarat bagi orang yang men- ta’dil-kan (mu’adil) dan orang yang men-jarah-kan (jarih), yaitu:
1.      Berilmu pengetahuan
2.      Taqwa
3.      Wara’ (orang yang selalu menjaga diri dan menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa- dosa kecil, dan makruhat- makruhat)
4.      Jujur
5.      Menjauhi sikap fanatik golongan
6.      Mengetahui sebab- sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan[4]

D.    Lafald- lafald yang terdapat dalam Ilmu Jarkhu wa Ta’dil
Lafazh- lafazh yang digunakan untuk men-tajrih dan man-ta’dil itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An- Nawawy, lafazh- lafazh itu dibagi menjadi 4 tingkatan. Menurut Al- Hafizd Ad- Dzahaby dan Al- ‘Iraq menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusun menjadi 6 tingkatan,yaitu sebagai berikut:
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh- lafazh yang af ‘alu al- ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis. (Orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalanya).
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-ldobit- annya, baik sifatnya ynag dihubungan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna. (Orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendirinya).
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh ynag mengandung arti “kuat ingatan”. (Orang yang teguh “orang yang hati- hati lidahnya” )
Tingkatan keempat, menunjukkan keadilan dan ke-dlabit-an, tetapi dengan lafazh yang tidak mengandung arti “kuat ingatan dan adil (tsiqah)”. (Orang yang sangat jujur)
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dlabit-an. (Orang yang berstatus jujur)
Tingkatan keenam, menunjukkan arti “mendekati cacat”. Seperti sifat- sifat tersebut diatas yang diikuti dengan lafazh tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. (Orang yang jujur, insya Allah)

E.     Syarat al- Jarh wa al Ta’dil agar dapat diterima
Syarat pertama, al- jarh- wa al- ta’dil di ucapakan yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al- jarh wa ta’dil. Al- Laknawi menjelaskan dalam kitab al- Raf’u wa al- Takmiil, “ Wajib bagimu untuk tidak tergesa- gesa menghukumi jarh terhadap seorang rawi semata- mata ada penilaian sebagian ahli al- jarh wa al- ta’dil, melainkan engkau harus meneliti kebenaranya karena masalah ini sangat pentingdan banyak kendalanya”.
Syarat kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab- sebabnya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. Ibnu al- Shalah berkata,
 “ Menurut pedapat yang benar dan masyhur, ta’dil dapat diterima tanpa menjelaskan sebab- sebabnya. Ini karena sebab- sebabnya sangat banyak, dan untuk menyebutkanya seorang pen-ta’dil harus berkata seperti rawi.(fulan itu tidak melakukan hal ini, tidak melanggar peraturan ini, bahkan bahkan melakuakan itu dan hal itu, sehingga ia terpaksa membilang semua hal yang menyebabkan kefasikan bila dikerjakan atau di tinggalkan. Hal ini adalah suatu hal yang  amat berat).
Syarat ketiga, dapat diterima jarh yang sederhana tanpa dijelaskan sebab- sebabnya bagi periwayat yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya. Demikian pendapat yang dipilih oleh al- Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarh al- Nukhba ia berkata, “ Apabila periwayat yang di jarh itu sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya, maka baginya berlaku jarh yang sederhana tanpa dijelaskan sebab- sebabnya bila hal itu diucapakan oleh orang yang bijak. Demikian menurut pendapat yang terpilih. Pendapat ini beralasan bahwa periwayat yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya seakan- akan adalah periwayat yang majhul.
Syarat keempat, jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi kediterimaanya. Maka bila ada hal- hal yang menghalanginya, jarh tidak dapat diterima.

F.      Pertentangan  antara al- Jarh wa al Ta’dil
Bila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil terhadap rawi, maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ulama.
Pendapat ynag shahih adalah yang dikutip oleh al- Khathib al- Baghdadi dari jumhur ulama dan dishahihkan oleh Ibnu al- Shalah dan muhaddits yang lain serta sebagian ulama ushul. Mereka berkata bahwa jarh di dahulukan atas ta’dil meskipun yang menta’dil hanya memberitahukan karakteristik yang tidak tampak dan samar bagi orang yang menta’dil.
Akan tetapi, kaidah ini tidak menunjukkan kemutlakan harus dudahulukanya jarh. Dapatlah kita katakan bahwa kaidah ini terbatas dengan syarat- syarat sebagai berikut:
1.      Jarh harus dijelaskan dan harus memenuhi syarat-syaratnya sebagaimana telah dijelaskan di depan.
2.      Orang yang menjarh tidak sentimen atas orang yang dijarh atau terlalu mempersulit dalam menjarh. Oleh karena itu, tidak dapat diterima jarh al-Nasa’i kepada Ahmad bin Shalih al-Mishri, karena kedunya saling membenci.
3.      Penta’dil tidak menjelskan bahwa jarh yang ada tidak dapat diterima bagi rawi yang bersangkutan.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan sudut pandang para kritikus mengakibatkan perbedaan mereka dalam al- jarh wa al ta’dil. Oleh karena al- Dzahabi , salah seorang ahli peneliti tentang kritik rijal berkata: “ Tidak pernah terjadi kesepakatan dua orang ulama hadits untuk men-tsiqat-kan  seorang rawi yang dha’if atau sebaliknya”.

 IV.            KESIMPULAN
Ilmu al- Jarh wa al- Ta’dil adalah “timbangan”bagi para perawi hadits. Rawi yang “berat” timbangannya diterima riwayatnya, sedangkan rawi yang “ringan” timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima dan kita dapat membedakan dengan periwayat yang tidak dapat diterima haditsnya.
Dalam kaidah- kaidah Jarah dan Ta’dil itu di bagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Bersandar kepada cara- cara periwayatanya hadits, syah periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada mereka.
2.      Berpautan dengan hadits itu sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan- jalan keshahihanya dan ketiadaan keshahihanya.
Ada pula beberapa syarat bagi orang yang men- ta’dil-kan (mu’adil) dan orang yang men-jarah-kan (jarih), yaitu:

1.      Berilmu pengetahuan
2.      Taqwa
3.      Wara’ (orang yang selalu menjaga diri dan menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa- dosa kecil, dan makruhat- makruhat)
4.      Jujur
5.      Menjauhi sikap fanatik golongan
6.      Mengetahui sebab- sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan


    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah saya susun. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini sangat jauh dan kurang dari kesempurnaanya, untuk itu kritik dan saran yang membangun guna perbaikan makalah selanjutnya. Dan semoga apa yang telah saya sampaikan kali ini  dapat bermanfaat  bagi kita semua. Aaamiin.




DAFTAR PUSTAKA

Hasbi.M Ash Shiddieqy.2001. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka  Rizki Putra
‘Itr Nurudin.1994. Ulumul Hadits 1. Bandung:  PT. Remaja Rosdakarya
Sholahudin Agus dan Suyadi Agus.2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia


[1] Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits 1, (Bandung:  PT. Remaja Rosdakarya, 1994) hal: 78- 79
[2] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal:157
[3] Teungku M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah&pengantar Ilmu Hadits (Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra,2001) hal: 326
[4] Ibid, Agus Solahudin dan Agus Suyadi.hal:162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar